Namaku Firman. Lengkapnya Firman Faturrahman.
Dan tadi baru selesai menyeruput segelas susu coklat panas. Kegiatanku sekarang
sedang menikmati libur kuliah semester ganjil dan sekarang sedang mengetik
artikel untuk dilombakan di Lomba Blog Zenius Education. Bermula dari postingan instagram akun @zeniuseducation berupa pengumuman lomba blog, yang
memberitahukan kalau Zenius mengadakan lomba lagi dengan tema “Penyesalan
menggunakan Zenius”. Secara sekilas, tentu saja aku tidak setuju kalau
yang dimaksud penyesalan menggunakan Zenius adalah karena cara belajarnya tidak
asyik atau karena tidak paham saat belajar dengan Zenius. Tetapi ,setelah aku tabayyun dengan membaca caption postingan tersebut, ternyata
yang dimaksud penyesalan di sini adalah menyesal karena telat tahu Zenius.
“Oh,” kataku santai setelah membaca habis caption postingan tersebut.
Di postingan itu juga, diberitahu rewards yang akan diberikan jika
memenangkan lomba blog yaitu berupa buku yang pastinya keren abis. Sebagai
orang yang suka baca buku, tentu saja aku sangat menginginkan buku itu karena
diberikan secara cuma-cuma. Ayolah, kamu pasti tahu maksudku ‘kan. Maksudku ini
dapat diwakili oleh kutipan dari buku Milea:
Suara dari Dilan, Dilan berkata, “Maksudku, tanpa perlu melihat situasi
ekonomi saat ini, kita perlu memahami alasan mengapa kebanyakan dari kita lebih
suka dikasih daripada membeli.”
Kebetulan juga, tema blog kali ini adalah
penyesalan. Dan lebih untungnya lagi, ada BANYAK sekali PENYESALAN—enggak
juga, sih, dikit. Lebih banyak senengnya tahu Zenius—karena aku telat banget
tahu bimbel interaktif ini alias Zenius Education. Perlu diketahui, secara
sekilas—lengkapnya akan dibahas di bawah—aku baru tahu adanya bimbel yang
slogan dari bajunya yaitu “The World of
Mind-Transforming Knowledge” ini di saat injury time alias saat-saat terakhir ketika ujian SBMPTN 2017 akan
dilaksanakan.
Tapi, sebelumnya izinkan dulu aku bercerita
tentang diriku sebentar. Aku ini orangnya, selama masih SMA, orangnya
biasa-biasa saja. Bahkan kalau di kelas, aku adalah “orang terakhir” yang akan
kamu mintai jawaban saat ujian sekolah berlangsung. Dari situ kamu bisa tahu
juga kalau aku ini orang yang tidak terlalu menonjol di bidang akademik. Aku
bisa masuk di sini saja itu bisa dibilang karena keberuntungan. Nilai UN aku
saat SMP adalah 26,75, sedangkan penerimaan nilai UN minimal—biasa dibilang
NEM—SMA aku adalah 25,90. Hoki sekali bukan?
Selama SMA aku mengambil jurusan IPA. Jurusan
ini aku ambil karena katanya kalau
jurusan IPA lebih mudah kalau mau masuk kuliah dan kalau lulus juga mudah dapat
kerja—kalau mau. Meskipun anak IPA, tapi kegiatanku selama SMA lebih banyak di
non-akademik. Lebih tepatya aku aktif di dunia teater yang penuh dengan
sandiwara. Dan alhamdulillah juara.
Dan skip
skip skip, waktu tak terasa sudah berlalu. Sekarang aku sudah kelas 12.
Waktu itu aku sangat buta sekali akan bagaimana caranya mau kuliah. Bahkan aku
saja tidak bisa membedakan SNMPTN dan SBMPTN saking aku tidak tahu sekali
informasinya. Bukan tidak tahu, sih, lebih tepatnya tahu tapi dari akunya sendiri
punya sikap “bodo amat, jalani saja nanti”.
Dan karena kurang persiapan ini itunya,
menyebabkan aku kemudian gagal untuk lolos ke PTN. Berat, sih, rasanya untuk
menjalani Gapyear. Yang bikin berat
adalah karena aku merasa “buang-buang waktu” selama satu tahun. Belum lagi
pandangan orang yang melihat orang yang lulus SMA tapi tidak langsung kuliah dicap
gagal oleh masyarakat negara berflower ini.
Huufft.
Tapi, aku tidak berlama-lama bersedih, aku
kemudian membeli Xpedia Alumni dan selama kekosongan satu tahun (2017-2018) aku
isi dengan belajar SBMPTN dan finally tahun
2018 ini—maksudnya tahun kemarin—aku bisa kuliah di PTN. Makasih Zenius yang sudah
jadi sebagian besar aku bisa kuliah tahun 2018. Hehehe.
Dan mungkin itu saja sekilas tentang ceritaku,
anggap saja seperti intermezzo—padahal
lebih tepatnya bingung mau pembukaannya bagaimana. Hehehe. So, daripada artikel ini kepanjangan, berikut adalah BEBERAPA
PENYESALAN AKU DENGAN ZENIUS EDUCATION. Selamat membaca. ☺
Penyesalan
1. Telat banget tahu Zenius Education
Sumpah demi apapun, ini penyesalan yang paling
utama aku dengan Zenius Education. Mungkin hal ini disebabkan aku terlalu cuek
pada masalah belajar, makanya aku tidak tahu mengenai adanya bimbel online.
Dulu, sih, ketika masih SMA, ada salah satu lembaga bimbel online yang
mempromosikan produknya gitu ‘kan ke siswa di SMA aku. Tapi gimana, ya, aku
skeptis saja terhadap bimbel online. Yang ada dibenakku kala itu, “Lah, belajar dengan guru yang ada di depan
mata saja aku enggak paham, apalagi ini bimbel online?”. Selain itu juga,
waktu itu, sebagai pelajar SMA yang sering berfoya-foya jajan dan lain
sebagainya, aku sangat malas untuk membeli produknya yang berupa voucher dan
belajar online. “Buang-buang kuota aja,” kataku sinis terhadap platform bimbel
online.
Kemudian, beranjak ke kelas 12, aku diajak
oleh salah satu teman di kelasku untuk membuat semacam grup belajar buat SBMPTN
gitu. Aku yang waktu itu hanya orang yang biasa saja otomatis menerima ajakan
itu. Siapa tahu itu akan membuatku sedikit lebih pintar dan menambah peluangku
untuk bisa sukses lolos ke PTN yang aku inginkan—atau minimal jurusannya yang
aku inginkan. Dan kebetulan juga aku punya link
ke salah satu guru Matematika yang dulu pernah mengajar di sekolah kami dan
mau mengajarkan kami lagi Matematika untuk nanti persiapan SBMPTN.
Nah, di sinilah awal mulanya aku tahu dengan
Zenius Education. Jadi, ceritanya bermula saat bulan September awal saat kelas
12. Waktu itu, saat kumpul pertama grup
belajar, awalnya kami membahas sistem belajarnya mau seperti apa dan siapa yang
akan menjadi tutor untuk mapel tertentu dan menentukan hari untuk khusus
belajar Matematika dengan ibu guru matematika yang dulu pernah mengajar di SMA
kami. Oh, BTW saat kumpul pertama itu,
kami berkumpul di rumah salah satu anggota belajar ini. Di sinilah awal mulanya
temanku mengenalkan aku dengan Zenius Education.
Awalnya temanku membuka personal computer yang ada di rumahnya. Kemudian dia menyuruhku
untuk melihat salah satu aplikasi di komputernya itu. Saat itu aku tidak tahu
menahu apa itu Xpedia yang lainnya. Gampangnya saat itu aku menyebutnya “aplikasi
belajar online”.
“Man, coba
tinggali heula ieu,” suruh temanku yang kalau diartikan kedalam Bahasa
Indonesia, artinya, “Man, coba lihat dulu ini.”
Kemudian di depan komputernya itu, aku
diperlihatkan halaman home ketika
kita awal membuka Xpedia. Aku masih ingat itu adalah Xpedia Alumni tapi
tahunnya sangat jauh. Itu Xpedia Alumni tahun 2013. Aku tidak tahu bagaimana
temanku bisa mendapatkan Xpedia itu. Sampai saat ini, hal tersebut belum aku
tanyakan.
Skip dulu tentang asal-usul bagaimana temanku mendapatkan Xpedia itu.
Sekarang posisiku sedang menatap interface
home Xpedia. Kalau tidak salah itu Xpedia tentang pelajaran matematika. Di
sebelah kiri layar motitor komputer temanku, di sana aku lihat ada folder
tentang “teori dan soal per bab”, “soal kapita selekta”, dan “soal tes PTN
sesuai tahun”. Aku klik saja folder “teori dan soal per bab”. Aku klik dan aku
lihat lagi di sana ada folder lagi dengan berjudul materi dari bab matematika
seperti persamaan kuadrat, fungsi kuadrat, dan sebagainya. Tapi
diantara semua itu, ada yang membuatku penasaran yaitu tentang “postulat”.
“Hah,
bab apa ini?” tanyaku pada diri sendiri karena selama 2 tahun aku belajar
di SMA, aku tidak pernah tahu kalau ada materi ini.
Kemudian karena aku penasaran, aku klik saja
materi itu dan booom. Itulah pertama
kalinya aku mendengar suara dari founder Zenius a.k.a Sabda PS. Suaranya yang
agak serak-serak basah itu, menjadi suara yang terngiang-ngiang di kepalaku.
“Okeee.
Ekkhhm. Sebelum gue mulai....”
Anjay, kataku dalam hati. Aku ketawa dan agak sedikit terkedjoet karena
tutornya tidak menggunakan bahasa formal. Kalau ditinjau dengan pengetahuan
tahun 2019, gaya bahasanya ala anak Jaksel gitu. Hahaha.
Aku habiskan beberapa materi dari bab postulat
itu dan damn, materinya seru abis.
Gila. Di sana aku kepikiran untuk minta “aplikasi belajar” ini pada temanku.
Tapi sayangnya waktu itu aku masih belum memiliki laptop. Tetapi aku bilang saja
pada temanku—sambil bercanda—kalau aku ingin minta aplikasi belajar itu, dan alhamdulillah dia mengiyakan. Meskipun
aku terkagum dengan penyampaian materi dari Bang Sabda, jujur saat itu
aku masih skeptis dengan bimbel ini.
Kemudian karena aku kepo tentang Zenius ini,
akhirnya aku mulai searching tentang
Zenius dan akhirnya aku menemuka blognya. Di sini sekilas aku juga tahu kalau
Zenius ini bisa diakses untuk pembelajaran via zenius.net asal kitanya
membeli voucher. Dan di sinilah aku kembali menyesal. Waktu itu, karena keskeptisanku
terhadap bimbel online dan akunya yang tidak mau menghabiskan kuota, akhirnya
aku tidak berlangganan. Sialan.
Lalu, waktu tak terasa sudah berlalu, dan
sekarang sudah H-1 bulan lagi sebelum SBMPTN. Dan alhamdulillah aku sudah memiliki laptop. Aku kemudian menghubungi
lagi temanku untuk minta Xpedia-nya yang nantinya akan aku gunakan untuk
belajar SBMPTN. Temanku memberikannya ke aku. Tapi sayangnya, saat di rumah,
aku lihat semua materi di Xpedia itu dan ternyata....
“Anjay, banyak banget,” kataku. Tentu saja aku
bicaranya dengan bahasa Sunda—secara real
life.
Kemudian, karena aku panik, aku langsung saja
hajar semua materinya. Bagian Zenius Learning hanya sekilas aku tonton. Aku
tonton sekilas karena aku—waktu itu—menyimpulkan kalau Zenius Learning ini
semacam “seminar motivasi” gitu, tapi ternyata aku salah. Di sana ngelatih
banget basic skills kita dan lain
sebagainya. Lebih utamanya di sana otak kita dikonstruksi ulang supaya punya
pemikiran yang benar dan cara belajarnya tidak asal-asalan. Damn.
Oh, di sini sekalian juga aku mau
mengklarifikasi terkait postingan aku yang di-repost oleh Zenius. Di postingan itu aku mengatakan kalau
“telat tau Zenius, taunya pas h-1 bulan sebelum SBMPTN”. Sebenarnya bukan
telat, tapi lebih ke aku pakai Zenius secara—kurang—benernya pas H-1 bulan
sebelum SBMPTN. Which is, gara-gara
itu akhirnya yang tampil di layar monitor saat aku membuka pengumuman SBMPTN
tahun 2017 adalah permohonan maaf.
2. Telat tahu cara belajar yang bener
Ini penyesalanku nomor kedua. Dulu, dalam
imajinasiku, belajar yang bener adalah kita buka buku. Terus kita cari kata
kunci dari bab salah satu mata pelajaran, kemudian kita highlight materi yang kita anggap penting dan kita salin ke buku
kita terus DIHAFALKAN.
Enggak tahu kenapa, semenjak tahu dengan
Zenius, aku sekarang agak anti banget
sama kata “DIHAFALIN”. Dan orang yang bertanggung jawab membuatku alergi
terhadap kata “DIHAFALIN” adalah Bang Sabda.
Tentu saja, memang dalam beberapa kasus mata
pelajaran, ada hal-hal yang harus dihafalkan. Tapi lebih banyak lagi hal-hal
yang sebenarnya bisa kita paham tanpa harus menghafalkannya. Asalkan kita tahu
KONSEP dari bab—materi—tersebut.
Yang paling ditekankan dari Bang Sabda
utamanya dalam pelajaran matematika Matematika. Aku ingat dulu aku pernah
membuat contekan rumus-rumus untuk ujian saat kelas 11. Di situ aku tulis
rumus-rumus matematika dan aku hafal. Tapi kemudian, saat pelaksanaan, aku
tidak paham how to use rumus
tersebut.
Menurut Bang Sabda, hal tersebut terjadi
karena diri kita sendiri enggak paham konsep dari materi itu sendiri. Bahkan,
dalam pembelajaran Matematika, Bang Sabda jarang banget ngomong ,“okeh cuy yang ini materinya hafalin yakkk”,
malahan Bang Sabda lebih sering ngomong, “... nah jadi konsep dari limit ini tuh kita nyari nilai yang mendekati si a
tapi bukan si a bla bla bla”. Dan amazingnya
dari keseluruhan matematika kelas SMA, Bang Sabda Cuma nyuruh kita hafalin
7 rumus aja. Yang aku tahu, beberapa rumus tersebut adalah rumus kecap, rumus
penjumlahan dan pengurangan trigonometri, indentitas trigonometri, dan
sebagainya. Maaf Bang, aku lupa lagi. Hehehe.
Terus juga, di blog Zenius, aku baru tahu
kalau ada cara belajar yang istilahnya Deliberate Practice. Definisi
bakunya kalau aku sendiri kurang paham, tapi
yang aku pahami, maksud dari Deliberate Practice ini adalah ketika kita
mau belajar sesuatu, ya kita harus belajar hal-hal yang menjadi fundamental dari yan akan kita pelajari.
Gampangnya, di blog Zenius atau di Xpedia, ya.
Ada analogi yang tepat buat menggambarkan Deliberate Practice ini—singkatnya
aku singkat DP. Analoginya itu adalah tentang pemain sepakbola. Untuk jadi
pemain sepakbola yang bener, otomatis orang tersebut harus belajar dari dasar-dasarnya
dulu, baik itu belajar cara menendang, cara lari yang bener, dan cara buat
membawa bola yang bener, itu baru akan membuat seorang pemain sepakbola bisa
hebat kayak CR7, misalnya.
Analogi dari diri aku sendiri adalah misal
seorang gitaris. Untuk jadi gitaris yang handal dan jago, bisa dengan cara kita
ngafalin—lagi-lagi ngafalin—tablature
suatu lagu. Tetapi kalau keseringan kayak gitu, nantinya skills dari gitaris tersebut selamanya akan memiliki skills untuk ngafalin doang. Bakal beda
kalau misalnya si Gitaris tersebut paham nada-nada dasar, belajar chord gantung, terus belajar
variasi-variasi dari chord dasar,
nantinya gitaris tersebut bakal bisa lebih jago dalam mengeksplor musik—atau
lagu—dibandingkan gitaris yang cuma ngafalin tablature.
Kalau yang ada korelasinya dengan belajar,
misalnya dalam pembelajaran Matematika. Dalam bab Integral, sebelum kita
mempelajarinya, kita harus punya fundamental
skills berupa materi tentang turunan, terus cara mengerjakan persamaan
aljabar, dan sebagainya. Karena kalau enggak paham dengan hal-hal kayak
turunan, bisa jadi integral itu bakal sulit. Kalaupun dipaksa belajar buat
Integral, nantinya kalau soal Integralnya dipelintir dikit aja, langsung pasti
enggak bisa ngerjain.
Dan karena baru tahu cara belajar yang bener
itu kayak yang seperti diajarkan Zenius, saat aku kembali melihat ke belakang,
kerasa banget kalau sekolah selama di SMA enggak dapet apa yang seharusnya
didapet kalau aku praktekkan belajar dengan cara DP ini.
3. Telat tahu makna belajar yang benar
Penyesalanku selanjutnya ya itu—seperti pada
judul. Pada saat jaman jahilliyah dulu,
aku selalu berpikir kalau kita itu belajar untuk dapet nilai di sekolah yang
nantinya diakhir semester dapat kita banggakan ke orang tua kita. Tapi, Zenius
datang dan memperbaiki cara berpikir aku yang salah itu.
Dari Zenius, aku belajar kalau makna belajar
itu bukan hanya sekedar transfer ilmu dari orang yang memiliki ilmu a.k.a guru
terhadap muridnya saja. Tetapi, pola pikir yang benar juga harus ditrasfer,
bukan ilmunya saja.
Analoginya, misal kita ini orang yang belum
punya mobil, terus datanglah seorang dermawan yang mau memberikan mobil pada
kita. Tentu saja, selain memberikan kita mobil, seorang dermawan yang baik
pasti memberikan kita juga cara untuk memakai ini mobil yang baik dan benar.
Pola pikir atau cara berpikir di sini sifatnya
harus benar. Karena kalau tidak benar, nantinya ketika kita menggunakan pola pikir
tersebut di luar bidang akademik—sekolah—bukannya kita memberikan solusi atas
masalah yang ada, tetapi kita malah menimbulkan masalah yang baru.
Di bagian Zenius Learning, Bang Sabda pernah
bilang:
“Gue
percaya 90% orang itu baik. Tapi 99% orang nggak tahu cara berpikir yang baik.”
Nah, cara berpikir yang baik itu yang
bagaimana? Cara berpikir yang ditawarkan Zenius adalah cara berpikir yang
menggunakan logika. Maksudnya adalah ketika kita menyimpulkan sesuatu itu harus
sistematis dan runtut sesuai aturan dan prinsip logika. Hal ini bertujuan agar
kesimpulan yang kita dapat bernilai benar. Atau paling minimalnya kita tidak
mengalami logika fallacy (kesesatan dalamberpikir).
Kemudian, di Zenius juga aku baru tahu adanya
istilah connecting the dots. Which means pentingnya
mengintegrasikan—kalau dalam pembelajaran—materi yang kita pelajari untuk
saling terkoneksi satu sama lain. Misalnya saja konsep energi yang yang ada di
kimia, fisika, dan biologi, itu ternyata saling berkaitan seperti yang dibahas oleh Om Wisnu di blog Zenius.
Tentang mengintegrasikan beberapa hal, selama
aku menjalani perkuliahan di semester 1, kerasa banget manfaat mengintegrasikan
materi satu ke materi lainnya. Misalnya saja pas perkuliahan kimia dasar kerasa
banget penting buat mengintegrasikan konsep mol ke dalam beberapa materi kimdas
lainnya seperti redoks, termokimia, dan sebagainya. Itu juga baru perkuliahan
semester satu, apalagi nanti di semester atas, aku tahu dari kating kalau ada
matkul biokimia dan kimfis (kimia fisika). Dari namanya saja sudah
mengintegrasikan dua bidang sains, dan di sinilah pentingnya peran
mengintegrasikan ilmu sains satu sama lain supaya kita memiliki pemahaman yang
lebih komprehensif.
Sebenarnya juga, dalam konteks yang paling
dekat, aku juga sedang connecting the
dots. Mengkoneksikan isi blog ini dengan berusaha mengaitkannya ke blog
Zenius.Net yang berkorelasi dengan isi blog ini. Hehehe.
Kalau saja dulu aku lebih tahu duluan mengenai
makna belajar ini, mungkin aku akan lebih banyak waktu untuk memaknai lebih
dalam lagi proses pembelajaran. Karena kalau ditinjau dengan keadaan saat
kuliah, sangat sedikit waktu untuk memaknai belajar. Karena waktunya pasti
kesita sama tugas yang lebih numpuk dibandingkan saat di SMA. Apalagi di Zenius
juga aku diajarin kalau kita itu enggak
punya cukup waktu untuk ngelakuin apa yang kita mau, makanya harus ada
prioritas. Of course saat kuliah
nanti, aku bakal lebih memprioritaskan yang memang ada kaitannya dengan kuliah,
tapi tidak menutup kemungkinan juga kalau aku akan menyempatkan diri untuk
lebih memaknai pembelajaran di masa kuliah nanti dengan cara menggunakanwaktu secara optimal karena kegiatan memaknai makna belajar ini bisa
dikatergorikan ke dalam kegiatan kuadran 2 (tidak mendesak, tapi penting) ala
Stephen R. Covey di bukunya The 7 Habitsof Highly Effective People.
4. Rangkuman penyesalan yang tak dapat dikategorikan
Kesannya malas amat yak buat bagian ini?
Wkwkwk. Secara garis besar sebenarnya yang 3 di atas sudah mewakili beberapa
penyesalan yang bisa dibilang sangat dalam dengan Zenius Education. Selain itu,
jika dikaitkan dengan prolog di atas, ketika aku bilang “banyak sekali
penyesalan” ternyata terlalu banyak pilihan membuatku tidak punya banyak
pilihan. A paradox.
Nah, jadi, eekkhm
di bagian ini aku bakal bahas penyesalan-penyesalan yang mungkin aku sendiri
mendefinisikannya sebagai penyesalan yang sifatnya remeh atau tidak terlalu menyesal. Which is penyesalannya tidak terlalu jauh di masa lampau dan masih
bisa dikejar.
Yang pertama. Aku jarang baca blog Zenius. Penyesalan ini aku dapat setelah
ternyata ada salah satu CD yang waktu awal aku beli Xpedia isinya aku remehkan,
ternyata di dalamnya ada info yang penting, yaitu tentang blog Zenius. Bahkan
sudah diwanti-wanti “Baca
ini sebelum nyesel” yang terpampang menjadi judul dari file itu
sendiri. Ya, yang aku bicarakan ada di kaset CD Tools.
Jadi, ternyata, di Zenius Blog ini terdapat
beberapa artikel yang isinya tidak hanya berisi tentang pembelajaran, tetapi
juga membahas sebuah fenomena yang ada di sekitar kita. Atau terkadang
artikelnya meluruskan miskonsepsi yang ada di sekitar kita, kalau enggak salah
di bagian Zenius Debunk. Contoh waktu itu aku baca adalah artikel mengenai golongan darah mempengaruhi kepribadian.
Yang kedua. Baru tahu Zenius juga di beberapa blognya menyediakan rekomendasi buku yang keren abis. Ini, sih, sumpah nyesel banget dulu beli buku yang menurut
aku keren ternyata isinya biasa saja. Sebagai orang yang suka membaca, tentu
mencari buku yang berkualitas adalah hal yang wajib. Karena kita ‘kan enggak punya waktu untuk melakukan
semua yang kita mau, membaca juga. Aku ingin membaca buku yang memang keren
dan seru dan ternyata Zenius sudah menyediakan di blognya. Lebih tepatnya, sih,
rekomendasi buku dari Om Glenn dan Bang Sabda.
Diantara rekomendasi buku yang diberitahukan
Zenius, akhirnya aku beli salah dua dari beberapa buku rekomendasi. Aku beli
buku The Magic of Thingking Big dan 7 Habits of Highly Effective People.
Dansetelah au baca, sisnya kurang lebih sama kayak di Zenius Learning.
Ya pasti
sama atuh ‘kan yang ngisi Zenius Learning itu Bang Sabda. Itu juga rekomendasibuku yang dari Bang Sabda. Ya pasti sama atuh.
Akhir kata, mungkin segitu saja dulu beberapa
penyesalan yang aku tulis terhadap Zenius Education. Selanjutnya aku bakal
bahas Impact yang aku dapat selama
belajar dengan Zenius Education.
Impact
Nah, sekarang aku mau bahas impact yang aku dapat setelah belajar
SBMPTN bareng Zenius Education. Di sini kayaknya aku enggak akan bahas poin per
poin kayak di atas soalnya antara poin satu dengan poin lainnya saling
terintegrasi. Justru kalau di-breakdown aku
takutnya ada beberapa hal yang tidak aku bahas.
Pasca belajar dengan Zenius Education, lebih
tepatnya setelah nonton Zenius Learning di Xpedia, paradigma aku tentang
belajar udah berubah. Udah disinggung di atas, di sini kayaknya nambahin saja.
Belajar bagiku bukan lagi sekedar kita pahami materi terus siap mengahadapi tes
dan mendapatkan nilai yang lebih bagus. Tapi Zenius menyadarkanku kalau belajar
juga bisa bikin menyenangkan, kayak main game.
Lebih kerennya lagi kita belajar itu kayak dianalogikan seperti cerita
detektif. Kita—sebagai detektif—berusaha menyingkap misteri alam ini dengan
beberapa clue yang ditinggalkan oleh
alam semesta itu sendiri.
Di blog Zenius, Om Wisnu menyampaikan
kalau fungsi dari pendidikan itu, selain nantinya kita dapat menghasilkan uang,
tapi lebih dari itu, pendidikan membuat kita agar menjadi a better person. Kalau ditinjau dengan aku
yang sekarang dan aku 365 hhari yang lalu—atau lebih—aku merasa menjadi a better person. Mulai dari tahu cara
berpikir yang benar, lebih bisa menyimpulkan secara rasional, dan lebih
merasa otak ini tidak kosong.
Sedikit demi sedikit juga, aku berusaha
menjadi seseorang yang berintelek seperti yang Bang Wisnu sampaikan. Aku
mulai berusaha untuk memperbaiki cara berpikir, kemudian lebih mempelajari verbal skills dan terutama skills untuk melihat sesuatu dari
berbagai macam sudut pandang.
Tentang melihat sesuatu hal dari berbagai
macam sudut pandang, menurutku ini sangat penting. Khususnya akhir-akhir ini
beberapa orang merasa pandangannya terhadap suatu hal adalah kebenaran yang
mutlak. Mereka bahkan tidak mau mempelajari bagaimana orang lain dalam
menyikapi hal tersebut—dan kenapa pandangannya bersebrangan terhadap masalah
tersebut. Padahal jika kita belajar melihat sesuatu hal/masalah dalam berbagi
sudut pandang, kemudian kita menggunakan pemikiran kritis kita untuk menguji
solusi untuk permasalahn tersebut sudah baik atau tidak dan juga mengevaluasi
dari solusi yang ada, menurutku negara ber-flower
ini bisa sedikit demi sedikit menuju negara forward.
Pemikiran kritis yang ditanamkan dari Zenius
juga pada real life akhirnya juga
kepakai. Utamanya sekarang-sekarang ini ketika beritra hoaks bertebaran. Kalau
udah enggak punya thingking tools yang
satu ini, bisa-bisa kita termakan hoaks. Misalnya saja mengenai yang dulu
sempat hangat yaitu makanan kering atau kopi yang bisa terbakar menurut ”penelitinya”
itu makanan pasti berbahaya untuk dimakan. Kebayang dong kalau masyarakat kita
percaya sama berita tersebut terus masyarakat demo besar-besaran buat
nutup—misalnya—perusahaan kopi tersebut terus menyebabkan masalah pengangguran.
Jujur, ketika ada fenomena itu, aku sebenarnya
tertawa terbahak-bahak. Ini orang yang melakukan “penelitian” berupa ngebakar
bubuk kopi dan bisa kebakar, kayaknya pas SMA pelajaran laju reaksi mengenai
luas area terus pas materi kimia karbon kayaknya enggak masuk, deh—baca:
mabal. Tentu saja atuh mudah kebakar karena luas permukaannya itu kecil. Terus jangan
lupakan juga di dalamnya ada gula yang notabene merupakan senyawa karbon yang
mudah untuk dibakar. Selain itu juga, si bubuk kopi juga ‘kan dalam keadaan
kering which is ngaruh banget buat
dibakar karena saat proses pembakaran enggak nguapin air dulu yang ada di bubuk
kopi.
Terus somehow
aku sekarang dalam hidup lebih science-oriented.
Maksudnya disini adalah kadang kalau lagi gabut, meskipun aku sendiri
sebenarnya jurusan kimia, tapi dalam melihat fenomena sehari-hari aku pakai tuh
ilmu yang aku pelajarin di teori fisika buat ngejelasin fenomena sehari-hari
secara science. Hal ini aku lakukan—selain
untuk pencitraan—adalah untuk meningkatkan rasa scientific reasoning.
Fenomena ini tidak harus yang kompleks.
Misalnya saja penjelasan mengenai kenapa kopi bubuk mudah terbakar—seperti yang
aku jelaskan di atas. Atau yang paling sederhananya mengenai pertanyaan,
“Kenapa, sih, kalau kita pakai baju hitam itu lebih cepet panas ketimbang kalau
pakai baju lain?”
Dulu, sih, pas SMP pernah disinggung sama guru
IPA aku kala itu, beliau ngejawab kalau itu ada hubungannya sama emisivitas. Pas belajar fisika, oh aku
baru tahu kalau ada fenomena yang namanya transfer kalor dan salah satu cara
untuk transfer kalor adalah radiasi. Yang mana
juga di dalam radiasi ada istilah radiasi
benda hitam. Yang rumusnya itu H = A×e×summa×T^4 (sorry
males pakai equation). Secara rumus
e~H (heat) di mana e merupakan tingkat kehitaman suatu benda. Semakin hitam
benda tersebut, maka semakin banyak kalor yang diserap oleh tubuh kita dan
nantinya kalor tersebut akan digunakan untuk menaikkan suhu tubuh kita. Dan
dari situlah kenapa ketika kita memakai baju selain warna hitam, ketika
jalan-jalan di bawah terik sinar matahari, kita tidak akan mudah kepanasan.
Dalam kehidupan bersosial di kampus, aku, sih,
sebenarnya malu mengatakan, tapi ini memang benar terjadi. Di kampus, saat mata
kuliah fisika, karena aku tahu asal-muasal penurunan rumus itu dari mana dan sometimes mmberikan penjelasan ke
temanku di kampus, di kelas kimia A aku dapat julukan Einstein. HAHAHA.
I don’t know why some people in my class called me Einstein, instead of calling me scientist that actually famous on chemistry like Niels Bohr, or maybe the other chemistry scientist.
Tapi ya karena di Zenius bagian Self Concept udah dikasih tahu sama Bang
Sabda tentang stimulus dari luar diri kita dan mempengaruhi kepribadian kita,
aku, sih antara malu dan senang dibilang Einstein.
Malu karena jujur fisika aku sebenarnya jeblok. Senang karena stimulus dari
luar diri itu bersifat positif. Kurang lebih sama kayak orang yang tiap ketemu
sama aku mereka itu bilang, “Kamu cerdas.” Dan karena sering dibilang seperti
itu, dan karena aku sudah baca buku TheMagic of Thingking Big ya aku senang dan sedikit demi sedikit membuatku
menjadi orang yang lebih a better person.
Dalam kasus lain impact yang aku dapet adalah aku mulai memfilter bacaan dan
tontonanku. Of course bukan berarti
semuanya tontonan aku dan buku bacaan yang aku punya/ingin aku beli berisi
tentang sains semua. Hanya saja sekarang aku lebih memprioritaskan untuk
membeli buku yang berbau sains seperti Sapiens by Yuval Noah Harari atau bukunya Selfish Gene by Richard Dawkins. Tetapi juga aku tidak tertutup pada buku Teen Fiction seperti misalnya trilogi Novel Dilan. Ayolah, semua orang pasti memiliki jiwa bucinnya masing-masing.
Wkwkwk.
Untuk tontonan, sekarang aku lebih sering
memantau talkshow yang berjudulTed-X. Aku lupa cara nulisnya gimana. Hehehe. Tapi yang jelas di sana bintang
tamunya yang berbicara adalah orang-orang yang menginnspirasi. Misalnya waktu
itu aku nonton video TED-nya Elon Musk, seorang pria “gila” yang menerbangkan
mobil buatannya ke Mars. Terus juga aku niat men-download video TED-nya Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens.
Konklusi
Ya mungkin segitu saja. Mengenai aku dan
penyesalanku padamu, Zenius. Maish banyak yang ingin dibahas tapi aku sudah
mulai gempor ngetiklebih dari 4000 words.
Ini first time aku nulis dengan
jumlah words sebanyak ini dalam satu
dokumen. Wkwkwk.
Makasih pokoknya Zenius, meskipun dengan
beberapa penyesalan tadi, aku dapat impact
yang signifikan bagiku untukbisa menjadi pribadi yang lebih a better person lagi. Makasih juga
Zenius udah menanamkan pembelajaran untuk SBMPTN menjadi pengalaman untuk
menjadi cerdas keterusan seperti yang dibilang oleh Bang Sabda.
Aku tidak pernah menyesal mengenal Zenius.
Bahkan kalau seandainya time machine itu
exist aku bakal bilang ke diriku
sendiri di masa lampau buat suruh secepatnya belajar bareng sama Zenius. Eh,
tapi nanti bakal jadi paradox time travel
enggak, sih? Wkwkwk.
Akhir kata, aku tutup artikel ini dengan
quotes yang aku dapat dari caption IG
salah satu user Zenius lain. Dalam caption-nya, dia menuliskan:
“Genius don’t study all the time. They have enough rest and fun too. Like they said, life is a playground or nothing.”
Sekian artikel ini. Semoga bermanfaat. :)