Semuanya bermula pada 3 Juli 2018. Ya, itu merupakan
hari di mana aku diumumkan diterima menjadi mahasiswa di Universita Islam
Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Ah, akhirnya tahun ini aku bisa kuliah.
Tentu saja, sebelum benar-benar diterima sebagai
mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, aku harus ikut MOS atau di sini disebut
PBAK—Pengenalan Budaya Akademik yang dilaksanakan oleh Dewan Mahasiswa UIN
Sunan Gunung Djati Bandung.
Ketika technical
meeting pada 25 Agustus 2018, tepatnya satu hari yang lalu—saat aku
menulis, tanggal 26—aku sebagai maba alias mahasiswa baru harus mengerjakan
“misi” yang diberikan oleh Dema, salah satunya menulis artikel ini. Lengkapnya,
aku—kami—sebagai maba diharuskan membuat blog dan menulis artikel sesuai judul
di atas.
“Peranan Mahasiswa di Era Millenials, ya?” tanyaku dalam hati saat tugas itu disampaikan oleh
perwakilan Dema di aula Gedung Anwar Mussadad. Tugas itu disampaikan oleh Teteh
perwakilan Dema, aku lupa lagi siapa namanya—yang jelas dia cantik karena
seorang wanita.
Di situ juga aku jadi tersadar. Sebagai
mahasiswa—khususnya aku—perannya nanti di era millenials ini apa? Jujur, meskipun aku malas mengerjakannya tapi
aku apresiasi Dema memberikan tugas seperti ini. Melatih sejauh mana pemikiran
kita yang seorang maba dan daya kritis kita, itu yang aku tangkap dari
penugasan ini, sih.
Baiklah,
aku terima misi ini dengan senang hati, Dema.
***
Bismillahirrahmanirrahim.
Sebelum masuk ke peranan, izinkan saya memberikan
sedikit pemaparan mengenai mahasiswa itu sendiri berdasarkan persepsi umum dan
saya sendiri.
Mahasiswa. Secara bahasa, mahasiswa terbentuk dari
dua kata, yaitu “maha” dan “siswa”. “Maha” sendiri bisa diartikan sebagai”yang
segala bisa, yang paling mampu, dsb”. “Siswa” bisa diartikan sebagai seseorang
yang terus menerus belajar. Jika kedua kata tersebut digabung, maka arti dari
mahasiswa adalah “seorang pelajar yang segala bisa”. Itulah pandanganku
mengenai mahasiswa. Pandangan masyarakat umum juga kurang lebih seperti itu.
Hanya saja, di masyarakat umum, kalimat yang sering ditemukan—khususnya saya di
latar budaya sunda—adalah, “pokona nu
ngarana mahasiswa mah kudu sagala bisa, komo lamun pas berhubungan jeung
masyarakat mah.” Kalimat tadi jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia
kurang lebih seperti ini, “pokoknya yang namanya mahasiswa itu harus segala
bisa, apalagi kalau berhubungan dengan masyarakat.”
Pernyataan tersebut, menurut saya cukup valid.
Misalnya saja, pandangan masyarakat terhadap mahasiswa UIN itu sendiri.
Masyarakat berpandangan bahwa mahasiswa UIN—khususnya laki-laki—harus bisa jadi
imam salat dan membawakan khotbah Jumat, tidak peduli mahasiswa itu dari
jurusan umum maupun jurusan yang memang sejalur dengan itu—jurusan Pendidikan
Agama Islam, misalnya.
Sekarang, izin saya untuk menemani anda di artikel
ini untuk membahas peranan mahasiswa di era millenials.
Tentu saja ini pendapat saya pribadi, jika tidak sempurna ya wajar saja karena
penulisnya adalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan.
***
Peranan mahasiswa di era millenials ini saya bagi menjadi beberapa bidang. Bidang tersebut
meliputi: Politik, Pendidikan, dan Sosial Budaya.
POLITIK
1)
Mengkritik
Pemerintahan
Memang dari dulu
sampai era millenials saat ini, tugas
mahasiswa yang langsung bersinggungan dengan dunia politik adalah mengkritik
pemerintahan. Tentu saja ini peranan mahasiswa yang bagi saya masih bisa
dilakukan di era millenials ini.
Tentu saja kritik sekarang tidak harus langsung turun ke lapangan dan demo.
Kritik sekarang bisa disampaikan dengan elegan dan kreatif lewat infografik dan
infografis mengenai berhasil tidaknya pemerintahan saat ini. Selain mengkritik,
tentu saja menurut saya mahasiswa zaman millenials
ini haru juga sepaket memberikan atau menyarankan solusi yang ada di
pemikirannya terhadap pemerintahan. Jika mengkritik tanpa solusi nantgi
kesannya seperti peribahasa, “Tong kosong nyaring bunyinya.” Selain itu,
penyampaian kritiknya juga harus sopan. Malu misalnya mengkritik di zaman millenials ini dengan kata-kata yang
tidak mencerminkan insan terdidik.
2)
Demo
Ini adalah
peranan sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Tentunya demo di sini tidak
sembarang demo. Jika memang terjadi hal-hal yang “luar biasa” maka peranan ini
bisa tetap dilaksanakan di era millenials
ini. Yang masih terkenang, tentu saja saat mahasiswa demo di gedung DPR
menuntut Presiden Soeharto saat itu untuk turun tahta dari kekuasaannya selama
kurang lebih 32 tahun. Ini membuktikan kekuatan mahasiswa—dan masyarakat—saat
itu cukup untuk menumbangkan kekuasan Pak Harto.
3)
Menyiapkan
Diri sebagai Pemimpin Bangsa
Dan ini menurut
saya peranan paling tinggi di era millenials
ini. Kalau bukan kita—mahasiswa—lalu siapa yang akan menjadi penerus bangsa
ini? Memang sepintas kalimat tersebut mirip seperti slogan salah satu partai
politik di Indonesia, tapi pesan ini mengandung makna yang penting khususnya
untuk para mahasiswa. Sebentar lagi, tepatnya 22 tahun yang akan datang,
Indonesia akan tepat merdeka 100 tahun. Mau jadi apa Indonesia di 100 tahun
kemerdekaannya? Tentu saja semuanya sangat bergantung kepada mahasiswanya yang
notabene lebih sering disorot sebagai generasi penerus bangsa. Maka dari itu,
penting bagi para mahasiswa menyiapkan perannya, khususnya ikut terjun di dunia
politik misalnya jadi Gubernur atau Presiden juga bisa. Intinya saling berlomba-lomba
membangu negeri ini menjadi lebih baik lewat dunia politik. Mahasiswa ini
bahkan menurut saya harus terjun ke politik ini. Karena jika tidak, dunia
politik hanya akan diisi oleh orang-orang yang tidak niat membangun bangsa ini
dan hanya memuaskan hasratnya sendiri.
Pendidikan
1)
Mengedukasi
sesama Mahasiswa
Dari dulu sampai
sekarang, pandangan bahwa mahasiswa itu individualis masih ada. Padahal, tidak
begitu. Mahasiswa bisa berperan saling mengedukasi satu sama lain, tidak
individualis. Edukasi di sini bisa berupa saling belajar kembali suatu mata
kuliah. Bisa juga saling mengedukasi mengenai kewirausahaan. Agar mahasiswa di
suatu kampus bisa saling mencerdaskan satu sama lain.
2)
Mengedukasi
Masyarakat
Pepatah berkata,
“Buat apa memiliki ilmu banyak jika tidak dibagikan dengan orang lain?” Sehabis
berperan mengedukasi ke sesama mahasiswa, ilmu yang mereka pelajari bisa juga
mereka bagikan kepada masyarakat umum. Masyarakat umum di sini bisa berupa
warga di sekitaran tempat tinggal—atau kosan—bisa juga masyarakat yang masih
muda. Masyarakat yang masih muda di sini saya definisikan sebagai anak SMA.
Mahasiswa bisa menjadi tutor atau mentor bagi mereka. Nah, selama saya kosong
satu tahun kemarin, saya merasakan bahwa mahasiswa ada yang berperan seperti ini.
Waktu itu saya diajari materi mengenai SBMPTN—Seleksi Bersama Masuk Perguruan
Tinggi Negeri—oleh mahasiswa ITB dan alhamdulillah
tahun ini berkat bantuan tersebut saya bisa kuliah. Peran seperti ini
menurut saya harus terus dibudayakan. Dan mungkin nanti saya insyaallah ingin menjadi tutor kimia
untuk adik kelas saya nanti mempersiapkan Test Center 2019—nama lain SBMPTN di
tahun depan.
Sosial Budaya
1)
Mengembangkan
Bakat Diri
Mahasiswa,
dengan segala ke-maha-annya tentu masing-masing memiliki bakat yang
berbeda-beda. Menurut saya, di era millenials
ini mahasiswa harus bisa menemukan bakatnya itu untuk lebih meningkatkan
kualitas dirinya. Dengan begitu, nantinya mahasiswa bisa lenih memiliki hal
yang bisa dibanggakan saat lulus—selain lulus dengan predikat cumlaude. Bakat di sini bisa apa saja.
Bisa bakat berwirausaha, musik, sastra, dan sebagainya. Hal-hal semacam itu
tentu saja bisa membantu mereka selepas dari dunia perkuliahan.
2)
Merawat
Budaya Indonesia
Globalisasi
makin ke sini berdampak pada kebudayaan di negeri kita. Barat, Korea, Jepang,
dan lain sebagainya sudah masuk dalam bentuk kebudayaan ke NKRI tercinta kita.
Sebagai mahasiswa di era millenials,
menurut saya suatu hal yang penting dan keren jika sebagai mahasiswa kita bisa
menjaga dan merawat budaya asli Indonesia yang beragam. Melestarikan di sini
bisa dengan cara mempelajari dan mengajarkannya kepada anak-anak, misalnya.
Peran ini juga menurut saya cukup berkesinambungan dengan poin sebelumnya.
Khususnya jika bakat para mahasiswa yang terpendam itu berhubungan langsung
dengan budaya asli Indonesia. Di tataran sunda, budaya yang masih bisa
dipelajari dan ditampilkan berupa permainan angklung, jaipongan, dan banyak
lainnya. Selain itu juga, hal-hal kecil semacam ngaliwet—makan besar di atas daun pisang—bisa menjadi alternatif
melestarikan budaya—khususnya budaya Sunda.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar