Jumat, 18 Januari 2019

Aku, dan Penyesalanku padamu, Zenius

Namaku Firman. Lengkapnya Firman Faturrahman. Dan tadi baru selesai menyeruput segelas susu coklat panas. Kegiatanku sekarang sedang menikmati libur kuliah semester ganjil dan sekarang sedang mengetik artikel untuk dilombakan di Lomba Blog Zenius Education. Bermula dari postingan instagram akun @zeniuseducation berupa pengumuman lomba blog, yang memberitahukan kalau Zenius mengadakan lomba lagi dengan tema “Penyesalan menggunakan Zenius”. Secara sekilas, tentu saja aku tidak setuju kalau yang dimaksud penyesalan menggunakan Zenius adalah karena cara belajarnya tidak asyik atau karena tidak paham saat belajar dengan Zenius. Tetapi ,setelah aku tabayyun dengan membaca caption postingan tersebut, ternyata yang dimaksud penyesalan di sini adalah menyesal karena telat tahu Zenius. 

“Oh,” kataku santai setelah membaca habis caption postingan tersebut. 

Di postingan itu juga, diberitahu rewards yang akan diberikan jika memenangkan lomba blog yaitu berupa buku yang pastinya keren abis. Sebagai orang yang suka baca buku, tentu saja aku sangat menginginkan buku itu karena diberikan secara cuma-cuma. Ayolah, kamu pasti tahu maksudku ‘kan. Maksudku ini dapat diwakili oleh kutipan dari buku Milea: Suara dari Dilan, Dilan berkata, “Maksudku, tanpa perlu melihat situasi ekonomi saat ini, kita perlu memahami alasan mengapa kebanyakan dari kita lebih suka dikasih daripada membeli.” 

Kebetulan juga, tema blog kali ini adalah penyesalan. Dan lebih untungnya lagi, ada BANYAK sekali PENYESALAN—enggak juga, sih, dikit. Lebih banyak senengnya tahu Zenius—karena aku telat banget tahu bimbel interaktif ini alias Zenius Education. Perlu diketahui, secara sekilas—lengkapnya akan dibahas di bawah—aku baru tahu adanya bimbel yang slogan dari bajunya yaitu “The World of Mind-Transforming Knowledge” ini di saat injury time alias saat-saat terakhir ketika ujian SBMPTN 2017 akan dilaksanakan. 

Tapi, sebelumnya izinkan dulu aku bercerita tentang diriku sebentar. Aku ini orangnya, selama masih SMA, orangnya biasa-biasa saja. Bahkan kalau di kelas, aku adalah “orang terakhir” yang akan kamu mintai jawaban saat ujian sekolah berlangsung. Dari situ kamu bisa tahu juga kalau aku ini orang yang tidak terlalu menonjol di bidang akademik. Aku bisa masuk di sini saja itu bisa dibilang karena keberuntungan. Nilai UN aku saat SMP adalah 26,75, sedangkan penerimaan nilai UN minimal—biasa dibilang NEM—SMA aku adalah 25,90. Hoki sekali bukan? 

Selama SMA aku mengambil jurusan IPA. Jurusan ini aku ambil karena katanya kalau jurusan IPA lebih mudah kalau mau masuk kuliah dan kalau lulus juga mudah dapat kerja—kalau mau. Meskipun anak IPA, tapi kegiatanku selama SMA lebih banyak di non-akademik. Lebih tepatya aku aktif di dunia teater yang penuh dengan sandiwara. Dan alhamdulillah juara. 

Dan skip skip skip, waktu tak terasa sudah berlalu. Sekarang aku sudah kelas 12. Waktu itu aku sangat buta sekali akan bagaimana caranya mau kuliah. Bahkan aku saja tidak bisa membedakan SNMPTN dan SBMPTN saking aku tidak tahu sekali informasinya. Bukan tidak tahu, sih, lebih tepatnya tahu tapi dari akunya sendiri punya sikap “bodo amat, jalani saja nanti”. 

Dan karena kurang persiapan ini itunya, menyebabkan aku kemudian gagal untuk lolos ke PTN. Berat, sih, rasanya untuk menjalani Gapyear. Yang bikin berat adalah karena aku merasa “buang-buang waktu” selama satu tahun. Belum lagi pandangan orang yang melihat orang yang lulus SMA tapi tidak langsung kuliah dicap gagal oleh masyarakat negara berflower ini. Huufft

Tapi, aku tidak berlama-lama bersedih, aku kemudian membeli Xpedia Alumni dan selama kekosongan satu tahun (2017-2018) aku isi dengan belajar SBMPTN dan finally tahun 2018 ini—maksudnya tahun kemarin—aku bisa kuliah di PTN. Makasih Zenius yang sudah jadi sebagian besar aku bisa kuliah tahun 2018. Hehehe. 

Dan mungkin itu saja sekilas tentang ceritaku, anggap saja seperti intermezzo—padahal lebih tepatnya bingung mau pembukaannya bagaimana. Hehehe. So, daripada artikel ini kepanjangan, berikut adalah BEBERAPA PENYESALAN AKU DENGAN ZENIUS EDUCATION. Selamat membaca.

Penyesalan

1.     Telat banget tahu Zenius Education

Sumpah demi apapun, ini penyesalan yang paling utama aku dengan Zenius Education. Mungkin hal ini disebabkan aku terlalu cuek pada masalah belajar, makanya aku tidak tahu mengenai adanya bimbel online. Dulu, sih, ketika masih SMA, ada salah satu lembaga bimbel online yang mempromosikan produknya gitu ‘kan ke siswa di SMA aku. Tapi gimana, ya, aku skeptis saja terhadap bimbel online. Yang ada dibenakku kala itu, “Lah, belajar dengan guru yang ada di depan mata saja aku enggak paham, apalagi ini bimbel online?”. Selain itu juga, waktu itu, sebagai pelajar SMA yang sering berfoya-foya jajan dan lain sebagainya, aku sangat malas untuk membeli produknya yang berupa voucher dan belajar online. “Buang-buang kuota aja,” kataku sinis terhadap platform bimbel online. 

Kemudian, beranjak ke kelas 12, aku diajak oleh salah satu teman di kelasku untuk membuat semacam grup belajar buat SBMPTN gitu. Aku yang waktu itu hanya orang yang biasa saja otomatis menerima ajakan itu. Siapa tahu itu akan membuatku sedikit lebih pintar dan menambah peluangku untuk bisa sukses lolos ke PTN yang aku inginkan—atau minimal jurusannya yang aku inginkan. Dan kebetulan juga aku punya link ke salah satu guru Matematika yang dulu pernah mengajar di sekolah kami dan mau mengajarkan kami lagi Matematika untuk nanti persiapan SBMPTN. 

Nah, di sinilah awal mulanya aku tahu dengan Zenius Education. Jadi, ceritanya bermula saat bulan September awal saat kelas 12.  Waktu itu, saat kumpul pertama grup belajar, awalnya kami membahas sistem belajarnya mau seperti apa dan siapa yang akan menjadi tutor untuk mapel tertentu dan menentukan hari untuk khusus belajar Matematika dengan ibu guru matematika yang dulu pernah mengajar di SMA kami. Oh, BTW saat kumpul pertama itu, kami berkumpul di rumah salah satu anggota belajar ini. Di sinilah awal mulanya temanku mengenalkan aku dengan Zenius Education. 

Awalnya temanku membuka personal computer yang ada di rumahnya. Kemudian dia menyuruhku untuk melihat salah satu aplikasi di komputernya itu. Saat itu aku tidak tahu menahu apa itu Xpedia yang lainnya. Gampangnya saat itu aku menyebutnya “aplikasi belajar online”. 

“Man, coba tinggali heula ieu,” suruh temanku yang kalau diartikan kedalam Bahasa Indonesia, artinya, “Man, coba lihat dulu ini.” 

Kemudian di depan komputernya itu, aku diperlihatkan halaman home ketika kita awal membuka Xpedia. Aku masih ingat itu adalah Xpedia Alumni tapi tahunnya sangat jauh. Itu Xpedia Alumni tahun 2013. Aku tidak tahu bagaimana temanku bisa mendapatkan Xpedia itu. Sampai saat ini, hal tersebut belum aku tanyakan. 

Skip dulu tentang asal-usul bagaimana temanku mendapatkan Xpedia itu. Sekarang posisiku sedang menatap interface home Xpedia. Kalau tidak salah itu Xpedia tentang pelajaran matematika. Di sebelah kiri layar motitor komputer temanku, di sana aku lihat ada folder tentang “teori dan soal per bab”, “soal kapita selekta”, dan “soal tes PTN sesuai tahun”. Aku klik saja folder “teori dan soal per bab”. Aku klik dan aku lihat lagi di sana ada folder lagi dengan berjudul materi dari bab matematika seperti persamaan kuadrat, fungsi kuadrat, dan sebagainya. Tapi diantara semua itu, ada yang membuatku penasaran yaitu tentang “postulat”. 

Hah, bab apa ini?” tanyaku pada diri sendiri karena selama 2 tahun aku belajar di SMA, aku tidak pernah tahu kalau ada materi ini. 

Kemudian karena aku penasaran, aku klik saja materi itu dan booom. Itulah pertama kalinya aku mendengar suara dari founder Zenius a.k.a Sabda PS. Suaranya yang agak serak-serak basah itu, menjadi suara yang terngiang-ngiang di kepalaku. 

Okeee. Ekkhhm. Sebelum gue mulai....” 

Anjay, kataku dalam hati. Aku ketawa dan agak sedikit terkedjoet karena tutornya tidak menggunakan bahasa formal. Kalau ditinjau dengan pengetahuan tahun 2019, gaya bahasanya ala anak Jaksel gitu. Hahaha. 

Aku habiskan beberapa materi dari bab postulat itu dan damn, materinya seru abis. Gila. Di sana aku kepikiran untuk minta “aplikasi belajar” ini pada temanku. Tapi sayangnya waktu itu aku masih belum memiliki laptop. Tetapi aku bilang saja pada temanku—sambil bercanda—kalau aku ingin minta aplikasi belajar itu, dan alhamdulillah dia mengiyakan. Meskipun aku terkagum dengan penyampaian materi dari Bang Sabda, jujur saat itu aku masih skeptis dengan bimbel ini. 

Kemudian karena aku kepo tentang Zenius ini, akhirnya aku mulai searching tentang Zenius dan akhirnya aku menemuka blognya. Di sini sekilas aku juga tahu kalau Zenius ini bisa diakses untuk pembelajaran via zenius.net asal kitanya membeli voucher. Dan di sinilah aku kembali menyesal. Waktu itu, karena keskeptisanku terhadap bimbel online dan akunya yang tidak mau menghabiskan kuota, akhirnya aku tidak berlangganan. Sialan. 

Lalu, waktu tak terasa sudah berlalu, dan sekarang sudah H-1 bulan lagi sebelum SBMPTN. Dan alhamdulillah aku sudah memiliki laptop. Aku kemudian menghubungi lagi temanku untuk minta Xpedia-nya yang nantinya akan aku gunakan untuk belajar SBMPTN. Temanku memberikannya ke aku. Tapi sayangnya, saat di rumah, aku lihat semua materi di Xpedia itu dan ternyata.... 

“Anjay, banyak banget,” kataku. Tentu saja aku bicaranya dengan bahasa Sunda—secara real life

Kemudian, karena aku panik, aku langsung saja hajar semua materinya. Bagian Zenius Learning hanya sekilas aku tonton. Aku tonton sekilas karena aku—waktu itu—menyimpulkan kalau Zenius Learning ini semacam “seminar motivasi” gitu, tapi ternyata aku salah. Di sana ngelatih banget basic skills kita dan lain sebagainya. Lebih utamanya di sana otak kita dikonstruksi ulang supaya punya pemikiran yang benar dan cara belajarnya tidak asal-asalan. Damn

Oh, di sini sekalian juga aku mau mengklarifikasi terkait postingan aku yang di-repost oleh Zenius. Di postingan itu aku mengatakan kalau “telat tau Zenius, taunya pas h-1 bulan sebelum SBMPTN”. Sebenarnya bukan telat, tapi lebih ke aku pakai Zenius secara—kurang—benernya pas H-1 bulan sebelum SBMPTN. Which is, gara-gara itu akhirnya yang tampil di layar monitor saat aku membuka pengumuman SBMPTN tahun 2017 adalah permohonan maaf.

2.    Telat tahu cara belajar yang bener

Ini penyesalanku nomor kedua. Dulu, dalam imajinasiku, belajar yang bener adalah kita buka buku. Terus kita cari kata kunci dari bab salah satu mata pelajaran, kemudian kita highlight materi yang kita anggap penting dan kita salin ke buku kita terus DIHAFALKAN. 

Enggak tahu kenapa, semenjak tahu dengan Zenius, aku sekarang agak anti banget sama kata “DIHAFALIN”. Dan orang yang bertanggung jawab membuatku alergi terhadap kata “DIHAFALIN” adalah Bang Sabda. 

Tentu saja, memang dalam beberapa kasus mata pelajaran, ada hal-hal yang harus dihafalkan. Tapi lebih banyak lagi hal-hal yang sebenarnya bisa kita paham tanpa harus menghafalkannya. Asalkan kita tahu KONSEP dari bab—materi—tersebut. 

Yang paling ditekankan dari Bang Sabda utamanya dalam pelajaran matematika Matematika. Aku ingat dulu aku pernah membuat contekan rumus-rumus untuk ujian saat kelas 11. Di situ aku tulis rumus-rumus matematika dan aku hafal. Tapi kemudian, saat pelaksanaan, aku tidak paham how to use rumus tersebut. 

Menurut Bang Sabda, hal tersebut terjadi karena diri kita sendiri enggak paham konsep dari materi itu sendiri. Bahkan, dalam pembelajaran Matematika, Bang Sabda jarang banget ngomong ,“okeh cuy yang ini materinya hafalin yakkk”, malahan Bang Sabda lebih sering ngomong, “... nah jadi konsep dari limit ini tuh kita nyari nilai yang mendekati si a tapi bukan si a bla bla bla”. Dan amazingnya dari keseluruhan matematika kelas SMA, Bang Sabda Cuma nyuruh kita hafalin 7 rumus aja. Yang aku tahu, beberapa rumus tersebut adalah rumus kecap, rumus penjumlahan dan pengurangan trigonometri, indentitas trigonometri, dan sebagainya. Maaf Bang, aku lupa lagi. Hehehe. 

Terus juga, di blog Zenius, aku baru tahu kalau ada cara belajar yang istilahnya Deliberate Practice. Definisi bakunya kalau aku sendiri kurang paham, tapi  yang aku pahami, maksud dari Deliberate Practice ini adalah ketika kita mau belajar sesuatu, ya kita harus belajar hal-hal yang menjadi fundamental dari yan akan kita pelajari. 

Gampangnya, di blog Zenius atau di Xpedia, ya. Ada analogi yang tepat buat menggambarkan Deliberate Practice ini—singkatnya aku singkat DP. Analoginya itu adalah tentang pemain sepakbola. Untuk jadi pemain sepakbola yang bener, otomatis orang tersebut harus belajar dari dasar-dasarnya dulu, baik itu belajar cara menendang, cara lari yang bener, dan cara buat membawa bola yang bener, itu baru akan membuat seorang pemain sepakbola bisa hebat kayak CR7, misalnya. 

Analogi dari diri aku sendiri adalah misal seorang gitaris. Untuk jadi gitaris yang handal dan jago, bisa dengan cara kita ngafalin—lagi-lagi ngafalin—tablature suatu lagu. Tetapi kalau keseringan kayak gitu, nantinya skills dari gitaris tersebut selamanya akan memiliki skills untuk ngafalin doang. Bakal beda kalau misalnya si Gitaris tersebut paham nada-nada dasar, belajar chord gantung, terus belajar variasi-variasi dari chord dasar, nantinya gitaris tersebut bakal bisa lebih jago dalam mengeksplor musik—atau lagu—dibandingkan gitaris yang cuma ngafalin tablature

Kalau yang ada korelasinya dengan belajar, misalnya dalam pembelajaran Matematika. Dalam bab Integral, sebelum kita mempelajarinya, kita harus punya fundamental skills berupa materi tentang turunan, terus cara mengerjakan persamaan aljabar, dan sebagainya. Karena kalau enggak paham dengan hal-hal kayak turunan, bisa jadi integral itu bakal sulit. Kalaupun dipaksa belajar buat Integral, nantinya kalau soal Integralnya dipelintir dikit aja, langsung pasti enggak bisa ngerjain.
Dan karena baru tahu cara belajar yang bener itu kayak yang seperti diajarkan Zenius, saat aku kembali melihat ke belakang, kerasa banget kalau sekolah selama di SMA enggak dapet apa yang seharusnya didapet kalau aku praktekkan belajar dengan cara DP ini.

3.    Telat tahu makna belajar yang benar

Penyesalanku selanjutnya ya itu—seperti pada judul. Pada saat jaman jahilliyah dulu, aku selalu berpikir kalau kita itu belajar untuk dapet nilai di sekolah yang nantinya diakhir semester dapat kita banggakan ke orang tua kita. Tapi, Zenius datang dan memperbaiki cara berpikir aku yang salah itu. 

Dari Zenius, aku belajar kalau makna belajar itu bukan hanya sekedar transfer ilmu dari orang yang memiliki ilmu a.k.a guru terhadap muridnya saja. Tetapi, pola pikir yang benar juga harus ditrasfer, bukan ilmunya saja. 

Analoginya, misal kita ini orang yang belum punya mobil, terus datanglah seorang dermawan yang mau memberikan mobil pada kita. Tentu saja, selain memberikan kita mobil, seorang dermawan yang baik pasti memberikan kita juga cara untuk memakai ini mobil yang baik dan benar. 

Pola pikir atau cara berpikir di sini sifatnya harus benar. Karena kalau tidak benar, nantinya ketika kita menggunakan pola pikir tersebut di luar bidang akademik—sekolah—bukannya kita memberikan solusi atas masalah yang ada, tetapi kita malah menimbulkan masalah yang baru. 

Di bagian Zenius Learning, Bang Sabda pernah bilang: 

Gue percaya 90% orang itu baik. Tapi 99% orang nggak tahu cara berpikir yang baik.”

Nah, cara berpikir yang baik itu yang bagaimana? Cara berpikir yang ditawarkan Zenius adalah cara berpikir yang menggunakan logika. Maksudnya adalah ketika kita menyimpulkan sesuatu itu harus sistematis dan runtut sesuai aturan dan prinsip logika. Hal ini bertujuan agar kesimpulan yang kita dapat bernilai benar. Atau paling minimalnya kita tidak mengalami logika fallacy (kesesatan dalamberpikir)

Kemudian, di Zenius juga aku baru tahu adanya istilah connecting the dots. Which means pentingnya mengintegrasikan—kalau dalam pembelajaran—materi yang kita pelajari untuk saling terkoneksi satu sama lain. Misalnya saja konsep energi yang yang ada di kimia, fisika, dan biologi, itu ternyata saling berkaitan seperti yang dibahas oleh Om Wisnu di blog Zenius

Tentang mengintegrasikan beberapa hal, selama aku menjalani perkuliahan di semester 1, kerasa banget manfaat mengintegrasikan materi satu ke materi lainnya. Misalnya saja pas perkuliahan kimia dasar kerasa banget penting buat mengintegrasikan konsep mol ke dalam beberapa materi kimdas lainnya seperti redoks, termokimia, dan sebagainya. Itu juga baru perkuliahan semester satu, apalagi nanti di semester atas, aku tahu dari kating kalau ada matkul biokimia dan kimfis (kimia fisika). Dari namanya saja sudah mengintegrasikan dua bidang sains, dan di sinilah pentingnya peran mengintegrasikan ilmu sains satu sama lain supaya kita memiliki pemahaman yang lebih komprehensif. 

Sebenarnya juga, dalam konteks yang paling dekat, aku juga sedang connecting the dots. Mengkoneksikan isi blog ini dengan berusaha mengaitkannya ke blog Zenius.Net yang berkorelasi dengan isi blog ini. Hehehe. 

Kalau saja dulu aku lebih tahu duluan mengenai makna belajar ini, mungkin aku akan lebih banyak waktu untuk memaknai lebih dalam lagi proses pembelajaran. Karena kalau ditinjau dengan keadaan saat kuliah, sangat sedikit waktu untuk memaknai belajar. Karena waktunya pasti kesita sama tugas yang lebih numpuk dibandingkan saat di SMA. Apalagi di Zenius juga aku diajarin kalau kita itu enggak punya cukup waktu untuk ngelakuin apa yang kita mau, makanya harus ada prioritas.  Of course saat kuliah nanti, aku bakal lebih memprioritaskan yang memang ada kaitannya dengan kuliah, tapi tidak menutup kemungkinan juga kalau aku akan menyempatkan diri untuk lebih memaknai pembelajaran di masa kuliah nanti dengan cara menggunakanwaktu secara optimal karena kegiatan memaknai makna belajar ini bisa dikatergorikan ke dalam kegiatan kuadran 2 (tidak mendesak, tapi penting) ala Stephen R. Covey di bukunya The 7 Habitsof Highly Effective People.

4.  Rangkuman penyesalan yang tak dapat dikategorikan

Kesannya malas amat yak buat bagian ini? Wkwkwk. Secara garis besar sebenarnya yang 3 di atas sudah mewakili beberapa penyesalan yang bisa dibilang sangat dalam dengan Zenius Education. Selain itu, jika dikaitkan dengan prolog di atas, ketika aku bilang “banyak sekali penyesalan” ternyata terlalu banyak pilihan membuatku tidak punya banyak pilihan. A paradox

Nah, jadi, eekkhm di bagian ini aku bakal bahas penyesalan-penyesalan yang mungkin aku sendiri mendefinisikannya sebagai penyesalan yang sifatnya remeh atau tidak terlalu menyesal. Which is penyesalannya tidak terlalu jauh di masa lampau dan masih bisa dikejar. 

Yang pertama. Aku jarang baca blog Zenius. Penyesalan ini aku dapat setelah ternyata ada salah satu CD yang waktu awal aku beli Xpedia isinya aku remehkan, ternyata di dalamnya ada info yang penting, yaitu tentang blog Zenius. Bahkan sudah diwanti-wanti Baca ini sebelum nyesel” yang terpampang menjadi judul dari file itu sendiri. Ya, yang aku bicarakan ada di kaset CD Tools. 

Jadi, ternyata, di Zenius Blog ini terdapat beberapa artikel yang isinya tidak hanya berisi tentang pembelajaran, tetapi juga membahas sebuah fenomena yang ada di sekitar kita. Atau terkadang artikelnya meluruskan miskonsepsi yang ada di sekitar kita, kalau enggak salah di bagian Zenius Debunk. Contoh waktu itu aku baca adalah artikel mengenai golongan darah mempengaruhi kepribadian

Yang kedua. Baru tahu Zenius juga di beberapa blognya menyediakan rekomendasi buku yang keren abis. Ini, sih, sumpah nyesel banget dulu beli buku yang menurut aku keren ternyata isinya biasa saja. Sebagai orang yang suka membaca, tentu mencari buku yang berkualitas adalah hal yang wajib. Karena kita ‘kan enggak punya waktu untuk melakukan semua yang kita mau, membaca juga. Aku ingin membaca buku yang memang keren dan seru dan ternyata Zenius sudah menyediakan di blognya. Lebih tepatnya, sih, rekomendasi buku dari Om Glenn dan Bang Sabda.
Diantara rekomendasi buku yang diberitahukan Zenius, akhirnya aku beli salah dua dari beberapa buku rekomendasi. Aku beli buku The Magic of Thingking Big dan 7 Habits of Highly Effective People. Dansetelah au baca, sisnya kurang lebih sama kayak di Zenius Learning.
Ya pasti sama atuh ‘kan yang ngisi Zenius Learning itu Bang Sabda. Itu juga rekomendasibuku yang dari Bang Sabda. Ya pasti sama atuh. 

Akhir kata, mungkin segitu saja dulu beberapa penyesalan yang aku tulis terhadap Zenius Education. Selanjutnya aku bakal bahas Impact yang aku dapat selama belajar dengan Zenius Education.

Impact

Nah, sekarang aku mau bahas impact yang aku dapat setelah belajar SBMPTN bareng Zenius Education. Di sini kayaknya aku enggak akan bahas poin per poin kayak di atas soalnya antara poin satu dengan poin lainnya saling terintegrasi. Justru kalau di-breakdown aku takutnya ada beberapa hal yang tidak aku bahas. 

Pasca belajar dengan Zenius Education, lebih tepatnya setelah nonton Zenius Learning di Xpedia, paradigma aku tentang belajar udah berubah. Udah disinggung di atas, di sini kayaknya nambahin saja. Belajar bagiku bukan lagi sekedar kita pahami materi terus siap mengahadapi tes dan mendapatkan nilai yang lebih bagus. Tapi Zenius menyadarkanku kalau belajar juga bisa bikin menyenangkan, kayak main game. Lebih kerennya lagi kita belajar itu kayak dianalogikan seperti cerita detektif. Kita—sebagai detektif—berusaha menyingkap misteri alam ini dengan beberapa clue yang ditinggalkan oleh alam semesta itu sendiri.  

Di blog Zenius, Om Wisnu menyampaikan kalau fungsi dari pendidikan itu, selain nantinya kita dapat menghasilkan uang, tapi lebih dari itu, pendidikan membuat kita agar menjadi a better person. Kalau ditinjau dengan aku yang sekarang dan aku 365 hhari yang lalu—atau lebih—aku merasa menjadi a better person. Mulai dari tahu cara berpikir yang benar, lebih bisa menyimpulkan secara rasional, dan lebih merasa otak ini tidak kosong. 

Sedikit demi sedikit juga, aku berusaha menjadi seseorang yang berintelek seperti yang Bang Wisnu sampaikan. Aku mulai berusaha untuk memperbaiki cara berpikir, kemudian lebih mempelajari verbal skills dan terutama skills untuk melihat sesuatu dari berbagai macam sudut pandang. 

Tentang melihat sesuatu hal dari berbagai macam sudut pandang, menurutku ini sangat penting. Khususnya akhir-akhir ini beberapa orang merasa pandangannya terhadap suatu hal adalah kebenaran yang mutlak. Mereka bahkan tidak mau mempelajari bagaimana orang lain dalam menyikapi hal tersebut—dan kenapa pandangannya bersebrangan terhadap masalah tersebut. Padahal jika kita belajar melihat sesuatu hal/masalah dalam berbagi sudut pandang, kemudian kita menggunakan pemikiran kritis kita untuk menguji solusi untuk permasalahn tersebut sudah baik atau tidak dan juga mengevaluasi dari solusi yang ada, menurutku negara ber-flower ini bisa sedikit demi sedikit menuju negara forward

Pemikiran kritis yang ditanamkan dari Zenius juga pada real life akhirnya juga kepakai. Utamanya sekarang-sekarang ini ketika beritra hoaks bertebaran. Kalau udah enggak punya thingking tools yang satu ini, bisa-bisa kita termakan hoaks. Misalnya saja mengenai yang dulu sempat hangat yaitu makanan kering atau kopi yang bisa terbakar menurut ”penelitinya” itu makanan pasti berbahaya untuk dimakan. Kebayang dong kalau masyarakat kita percaya sama berita tersebut terus masyarakat demo besar-besaran buat nutup—misalnya—perusahaan kopi tersebut terus menyebabkan masalah pengangguran. 

Jujur, ketika ada fenomena itu, aku sebenarnya tertawa terbahak-bahak. Ini orang yang melakukan “penelitian” berupa ngebakar bubuk kopi dan bisa kebakar, kayaknya pas SMA pelajaran laju reaksi mengenai luas area terus pas materi kimia karbon kayaknya enggak masuk, deh—baca: mabal.  Tentu saja atuh mudah kebakar karena luas permukaannya itu kecil. Terus jangan lupakan juga di dalamnya ada gula yang notabene merupakan senyawa karbon yang mudah untuk dibakar. Selain itu juga, si bubuk kopi juga ‘kan dalam keadaan kering which is ngaruh banget buat dibakar karena saat proses pembakaran enggak nguapin air dulu yang ada di bubuk kopi. 

Terus somehow aku sekarang dalam hidup lebih science-oriented. Maksudnya disini adalah kadang kalau lagi gabut, meskipun aku sendiri sebenarnya jurusan kimia, tapi dalam melihat fenomena sehari-hari aku pakai tuh ilmu yang aku pelajarin di teori fisika buat ngejelasin fenomena sehari-hari secara science. Hal ini aku lakukan—selain untuk pencitraan—adalah untuk meningkatkan rasa scientific reasoning

Fenomena ini tidak harus yang kompleks. Misalnya saja penjelasan mengenai kenapa kopi bubuk mudah terbakar—seperti yang aku jelaskan di atas. Atau yang paling sederhananya mengenai pertanyaan, “Kenapa, sih, kalau kita pakai baju hitam itu lebih cepet panas ketimbang kalau pakai baju lain?” 

Dulu, sih, pas SMP pernah disinggung sama guru IPA aku kala itu, beliau ngejawab kalau itu ada hubungannya sama emisivitas. Pas belajar fisika, oh aku baru tahu kalau ada fenomena yang namanya transfer kalor dan salah satu cara untuk transfer kalor adalah radiasi. Yang mana  juga di dalam radiasi ada istilah radiasi benda hitam.  Yang rumusnya itu H = A×e×summa×T^4 (sorry males pakai equation). Secara rumus e~H (heat) di mana e merupakan tingkat kehitaman suatu benda. Semakin hitam benda tersebut, maka semakin banyak kalor yang diserap oleh tubuh kita dan nantinya kalor tersebut akan digunakan untuk menaikkan suhu tubuh kita. Dan dari situlah kenapa ketika kita memakai baju selain warna hitam, ketika jalan-jalan di bawah terik sinar matahari, kita tidak akan mudah kepanasan. 

Dalam kehidupan bersosial di kampus, aku, sih, sebenarnya malu mengatakan, tapi ini memang benar terjadi. Di kampus, saat mata kuliah fisika, karena aku tahu asal-muasal penurunan rumus itu dari mana dan sometimes mmberikan penjelasan ke temanku di kampus, di kelas kimia A aku dapat julukan Einstein. HAHAHA. 

I don’t know why some people in my class called me Einstein, instead of calling me scientist that actually famous on chemistry like Niels Bohr, or maybe the other chemistry scientist. 

Tapi ya karena di Zenius bagian Self Concept udah dikasih tahu sama Bang Sabda tentang stimulus dari luar diri kita dan mempengaruhi kepribadian kita, aku, sih antara malu dan senang dibilang Einstein. Malu karena jujur fisika aku sebenarnya jeblok. Senang karena stimulus dari luar diri itu bersifat positif. Kurang lebih sama kayak orang yang tiap ketemu sama aku mereka itu bilang, “Kamu cerdas.” Dan karena sering dibilang seperti itu, dan karena aku sudah baca buku TheMagic of Thingking Big ya aku senang dan sedikit demi sedikit membuatku menjadi orang yang lebih a better person

Dalam kasus lain impact yang aku dapet adalah aku mulai memfilter bacaan dan tontonanku. Of course bukan berarti semuanya tontonan aku dan buku bacaan yang aku punya/ingin aku beli berisi tentang sains semua. Hanya saja sekarang aku lebih memprioritaskan untuk membeli buku yang berbau sains seperti Sapiens by Yuval Noah Harari atau bukunya Selfish Gene by Richard Dawkins. Tetapi juga aku tidak tertutup pada buku Teen Fiction seperti misalnya trilogi Novel Dilan. Ayolah, semua orang pasti memiliki jiwa bucinnya masing-masing. Wkwkwk. 

Untuk tontonan, sekarang aku lebih sering memantau talkshow yang berjudulTed-X. Aku lupa cara nulisnya gimana. Hehehe. Tapi yang jelas di sana bintang tamunya yang berbicara adalah orang-orang yang menginnspirasi. Misalnya waktu itu aku nonton video TED-nya Elon Musk, seorang pria “gila” yang menerbangkan mobil buatannya ke Mars. Terus juga aku niat men-download video TED-nya Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens.

Konklusi

Ya mungkin segitu saja. Mengenai aku dan penyesalanku padamu, Zenius. Maish banyak yang ingin dibahas tapi aku sudah mulai gempor ngetiklebih dari 4000 words. Ini first time aku nulis dengan jumlah words sebanyak ini dalam satu dokumen. Wkwkwk. 

Makasih pokoknya Zenius, meskipun dengan beberapa penyesalan tadi, aku dapat impact yang signifikan bagiku untukbisa menjadi pribadi yang lebih a better person lagi. Makasih juga Zenius udah menanamkan pembelajaran untuk SBMPTN menjadi pengalaman untuk menjadi cerdas keterusan seperti yang dibilang oleh Bang Sabda

Aku tidak pernah menyesal mengenal Zenius. Bahkan kalau seandainya time machine itu exist aku bakal bilang ke diriku sendiri di masa lampau buat suruh secepatnya belajar bareng sama Zenius. Eh, tapi nanti bakal jadi paradox time travel enggak, sih? Wkwkwk.
Akhir kata, aku tutup artikel ini dengan quotes yang aku dapat dari caption IG salah satu user Zenius lain. Dalam caption-nya, dia menuliskan: 

Genius don’t study all the time. They have enough rest and fun too. Like they said, life is a playground or nothing.”

Sekian artikel ini. Semoga bermanfaat. :)




Senin, 27 Agustus 2018

Peran Mahasiswa di Era Millenials


Semuanya bermula pada 3 Juli 2018. Ya, itu merupakan hari di mana aku diumumkan diterima menjadi mahasiswa di Universita Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Ah, akhirnya tahun ini aku bisa kuliah.
Tentu saja, sebelum benar-benar diterima sebagai mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, aku harus ikut MOS atau di sini disebut PBAK—Pengenalan Budaya Akademik yang dilaksanakan oleh Dewan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Ketika technical meeting pada 25 Agustus 2018, tepatnya satu hari yang lalu—saat aku menulis, tanggal 26—aku sebagai maba alias mahasiswa baru harus mengerjakan “misi” yang diberikan oleh Dema, salah satunya menulis artikel ini. Lengkapnya, aku—kami—sebagai maba diharuskan membuat blog dan menulis artikel sesuai judul di atas.
“Peranan Mahasiswa di Era Millenials, ya?” tanyaku dalam hati saat tugas itu disampaikan oleh perwakilan Dema di aula Gedung Anwar Mussadad. Tugas itu disampaikan oleh Teteh perwakilan Dema, aku lupa lagi siapa namanya—yang jelas dia cantik karena seorang wanita.
Di situ juga aku jadi tersadar. Sebagai mahasiswa—khususnya aku—perannya nanti di era millenials ini apa? Jujur, meskipun aku malas mengerjakannya tapi aku apresiasi Dema memberikan tugas seperti ini. Melatih sejauh mana pemikiran kita yang seorang maba dan daya kritis kita, itu yang aku tangkap dari penugasan ini, sih.
Baiklah, aku terima misi ini dengan senang hati, Dema.

***

Bismillahirrahmanirrahim.
Sebelum masuk ke peranan, izinkan saya memberikan sedikit pemaparan mengenai mahasiswa itu sendiri berdasarkan persepsi umum dan saya sendiri.
Mahasiswa. Secara bahasa, mahasiswa terbentuk dari dua kata, yaitu “maha” dan “siswa”. “Maha” sendiri bisa diartikan sebagai”yang segala bisa, yang paling mampu, dsb”. “Siswa” bisa diartikan sebagai seseorang yang terus menerus belajar. Jika kedua kata tersebut digabung, maka arti dari mahasiswa adalah “seorang pelajar yang segala bisa”. Itulah pandanganku mengenai mahasiswa. Pandangan masyarakat umum juga kurang lebih seperti itu. Hanya saja, di masyarakat umum, kalimat yang sering ditemukan—khususnya saya di latar budaya sunda—adalah, “pokona nu ngarana mahasiswa mah kudu sagala bisa, komo lamun pas berhubungan jeung masyarakat mah.” Kalimat tadi jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini, “pokoknya yang namanya mahasiswa itu harus segala bisa, apalagi kalau berhubungan dengan masyarakat.”
Pernyataan tersebut, menurut saya cukup valid. Misalnya saja, pandangan masyarakat terhadap mahasiswa UIN itu sendiri. Masyarakat berpandangan bahwa mahasiswa UIN—khususnya laki-laki—harus bisa jadi imam salat dan membawakan khotbah Jumat, tidak peduli mahasiswa itu dari jurusan umum maupun jurusan yang memang sejalur dengan itu—jurusan Pendidikan Agama Islam, misalnya.
Sekarang, izin saya untuk menemani anda di artikel ini untuk membahas peranan mahasiswa di era millenials. Tentu saja ini pendapat saya pribadi, jika tidak sempurna ya wajar saja karena penulisnya adalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan.

***

Peranan mahasiswa di era millenials ini saya bagi menjadi beberapa bidang. Bidang tersebut meliputi: Politik, Pendidikan, dan Sosial Budaya. 

POLITIK 

1)      Mengkritik Pemerintahan
Memang dari dulu sampai era millenials saat ini, tugas mahasiswa yang langsung bersinggungan dengan dunia politik adalah mengkritik pemerintahan. Tentu saja ini peranan mahasiswa yang bagi saya masih bisa dilakukan di era millenials ini. Tentu saja kritik sekarang tidak harus langsung turun ke lapangan dan demo. Kritik sekarang bisa disampaikan dengan elegan dan kreatif lewat infografik dan infografis mengenai berhasil tidaknya pemerintahan saat ini. Selain mengkritik, tentu saja menurut saya mahasiswa zaman millenials ini haru juga sepaket memberikan atau menyarankan solusi yang ada di pemikirannya terhadap pemerintahan. Jika mengkritik tanpa solusi nantgi kesannya seperti peribahasa, “Tong kosong nyaring bunyinya.” Selain itu, penyampaian kritiknya juga harus sopan. Malu misalnya mengkritik di zaman millenials ini dengan kata-kata yang tidak mencerminkan insan terdidik.
2)      Demo
Ini adalah peranan sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Tentunya demo di sini tidak sembarang demo. Jika memang terjadi hal-hal yang “luar biasa” maka peranan ini bisa tetap dilaksanakan di era millenials ini. Yang masih terkenang, tentu saja saat mahasiswa demo di gedung DPR menuntut Presiden Soeharto saat itu untuk turun tahta dari kekuasaannya selama kurang lebih 32 tahun. Ini membuktikan kekuatan mahasiswa—dan masyarakat—saat itu cukup untuk menumbangkan kekuasan Pak Harto.
3)      Menyiapkan Diri sebagai Pemimpin Bangsa
Dan ini menurut saya peranan paling tinggi di era millenials ini. Kalau bukan kita—mahasiswa—lalu siapa yang akan menjadi penerus bangsa ini? Memang sepintas kalimat tersebut mirip seperti slogan salah satu partai politik di Indonesia, tapi pesan ini mengandung makna yang penting khususnya untuk para mahasiswa. Sebentar lagi, tepatnya 22 tahun yang akan datang, Indonesia akan tepat merdeka 100 tahun. Mau jadi apa Indonesia di 100 tahun kemerdekaannya? Tentu saja semuanya sangat bergantung kepada mahasiswanya yang notabene lebih sering disorot sebagai generasi penerus bangsa. Maka dari itu, penting bagi para mahasiswa menyiapkan perannya, khususnya ikut terjun di dunia politik misalnya jadi Gubernur atau Presiden juga bisa. Intinya saling berlomba-lomba membangu negeri ini menjadi lebih baik lewat dunia politik. Mahasiswa ini bahkan menurut saya harus terjun ke politik ini. Karena jika tidak, dunia politik hanya akan diisi oleh orang-orang yang tidak niat membangun bangsa ini dan hanya memuaskan hasratnya sendiri.

Pendidikan

1)      Mengedukasi sesama Mahasiswa
Dari dulu sampai sekarang, pandangan bahwa mahasiswa itu individualis masih ada. Padahal, tidak begitu. Mahasiswa bisa berperan saling mengedukasi satu sama lain, tidak individualis. Edukasi di sini bisa berupa saling belajar kembali suatu mata kuliah. Bisa juga saling mengedukasi mengenai kewirausahaan. Agar mahasiswa di suatu kampus bisa saling mencerdaskan satu sama lain.
2)      Mengedukasi Masyarakat
Pepatah berkata, “Buat apa memiliki ilmu banyak jika tidak dibagikan dengan orang lain?” Sehabis berperan mengedukasi ke sesama mahasiswa, ilmu yang mereka pelajari bisa juga mereka bagikan kepada masyarakat umum. Masyarakat umum di sini bisa berupa warga di sekitaran tempat tinggal—atau kosan—bisa juga masyarakat yang masih muda. Masyarakat yang masih muda di sini saya definisikan sebagai anak SMA. Mahasiswa bisa menjadi tutor atau mentor bagi mereka. Nah, selama saya kosong satu tahun kemarin, saya merasakan bahwa mahasiswa ada yang berperan seperti ini. Waktu itu saya diajari materi mengenai SBMPTN—Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri—oleh mahasiswa ITB dan alhamdulillah tahun ini berkat bantuan tersebut saya bisa kuliah. Peran seperti ini menurut saya harus terus dibudayakan. Dan mungkin nanti saya insyaallah ingin menjadi tutor kimia untuk adik kelas saya nanti mempersiapkan Test Center 2019—nama lain SBMPTN di tahun depan.

Sosial Budaya 

1)      Mengembangkan Bakat Diri
Mahasiswa, dengan segala ke-maha-annya tentu masing-masing memiliki bakat yang berbeda-beda. Menurut saya, di era millenials ini mahasiswa harus bisa menemukan bakatnya itu untuk lebih meningkatkan kualitas dirinya. Dengan begitu, nantinya mahasiswa bisa lenih memiliki hal yang bisa dibanggakan saat lulus—selain lulus dengan predikat cumlaude. Bakat di sini bisa apa saja. Bisa bakat berwirausaha, musik, sastra, dan sebagainya. Hal-hal semacam itu tentu saja bisa membantu mereka selepas dari dunia perkuliahan.
2)      Merawat Budaya Indonesia
Globalisasi makin ke sini berdampak pada kebudayaan di negeri kita. Barat, Korea, Jepang, dan lain sebagainya sudah masuk dalam bentuk kebudayaan ke NKRI tercinta kita. Sebagai mahasiswa di era millenials, menurut saya suatu hal yang penting dan keren jika sebagai mahasiswa kita bisa menjaga dan merawat budaya asli Indonesia yang beragam. Melestarikan di sini bisa dengan cara mempelajari dan mengajarkannya kepada anak-anak, misalnya. Peran ini juga menurut saya cukup berkesinambungan dengan poin sebelumnya. Khususnya jika bakat para mahasiswa yang terpendam itu berhubungan langsung dengan budaya asli Indonesia. Di tataran sunda, budaya yang masih bisa dipelajari dan ditampilkan berupa permainan angklung, jaipongan, dan banyak lainnya. Selain itu juga, hal-hal kecil semacam ngaliwet—makan besar di atas daun pisang—bisa menjadi alternatif melestarikan budaya—khususnya budaya Sunda.

***

            Ya, mungkin itu saja pandangan saya mengenai peran mahasiswa di era millenials ini. Lebnih kurangnya mohon dimaafkan dan terima kasih sudah membaca. Jika ada yang kurang tepat silahkan tinggalkan komentar di blog ini. Sekali lagi, terima kasih banyak. 

Muqadimah


Bismillahirrahmanirrahim. 

Dengan ini, dengan penuh perasaan dan juga fasilitas di warnet Comex.

Saya, Firman Faturrahman menyatakan akan membuka blog ini.

Pembukaan blog ini awalnya didasari oleh tugas dari Dewan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati 
pada 25 Agustus 2018.

Daripada mubadzir¸maka saya usahakan akan update lagi—selain tugas yang sudah disebutkan—agar blog ini tidak hanya asal buat.

Sekian dan terima kasih. Semoga Allah SWT. memberikan saya semangat selalu istiqamah untuk terus update blog ini. Aamiin.