Senin, 27 Agustus 2018

Peran Mahasiswa di Era Millenials


Semuanya bermula pada 3 Juli 2018. Ya, itu merupakan hari di mana aku diumumkan diterima menjadi mahasiswa di Universita Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Ah, akhirnya tahun ini aku bisa kuliah.
Tentu saja, sebelum benar-benar diterima sebagai mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, aku harus ikut MOS atau di sini disebut PBAK—Pengenalan Budaya Akademik yang dilaksanakan oleh Dewan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Ketika technical meeting pada 25 Agustus 2018, tepatnya satu hari yang lalu—saat aku menulis, tanggal 26—aku sebagai maba alias mahasiswa baru harus mengerjakan “misi” yang diberikan oleh Dema, salah satunya menulis artikel ini. Lengkapnya, aku—kami—sebagai maba diharuskan membuat blog dan menulis artikel sesuai judul di atas.
“Peranan Mahasiswa di Era Millenials, ya?” tanyaku dalam hati saat tugas itu disampaikan oleh perwakilan Dema di aula Gedung Anwar Mussadad. Tugas itu disampaikan oleh Teteh perwakilan Dema, aku lupa lagi siapa namanya—yang jelas dia cantik karena seorang wanita.
Di situ juga aku jadi tersadar. Sebagai mahasiswa—khususnya aku—perannya nanti di era millenials ini apa? Jujur, meskipun aku malas mengerjakannya tapi aku apresiasi Dema memberikan tugas seperti ini. Melatih sejauh mana pemikiran kita yang seorang maba dan daya kritis kita, itu yang aku tangkap dari penugasan ini, sih.
Baiklah, aku terima misi ini dengan senang hati, Dema.

***

Bismillahirrahmanirrahim.
Sebelum masuk ke peranan, izinkan saya memberikan sedikit pemaparan mengenai mahasiswa itu sendiri berdasarkan persepsi umum dan saya sendiri.
Mahasiswa. Secara bahasa, mahasiswa terbentuk dari dua kata, yaitu “maha” dan “siswa”. “Maha” sendiri bisa diartikan sebagai”yang segala bisa, yang paling mampu, dsb”. “Siswa” bisa diartikan sebagai seseorang yang terus menerus belajar. Jika kedua kata tersebut digabung, maka arti dari mahasiswa adalah “seorang pelajar yang segala bisa”. Itulah pandanganku mengenai mahasiswa. Pandangan masyarakat umum juga kurang lebih seperti itu. Hanya saja, di masyarakat umum, kalimat yang sering ditemukan—khususnya saya di latar budaya sunda—adalah, “pokona nu ngarana mahasiswa mah kudu sagala bisa, komo lamun pas berhubungan jeung masyarakat mah.” Kalimat tadi jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini, “pokoknya yang namanya mahasiswa itu harus segala bisa, apalagi kalau berhubungan dengan masyarakat.”
Pernyataan tersebut, menurut saya cukup valid. Misalnya saja, pandangan masyarakat terhadap mahasiswa UIN itu sendiri. Masyarakat berpandangan bahwa mahasiswa UIN—khususnya laki-laki—harus bisa jadi imam salat dan membawakan khotbah Jumat, tidak peduli mahasiswa itu dari jurusan umum maupun jurusan yang memang sejalur dengan itu—jurusan Pendidikan Agama Islam, misalnya.
Sekarang, izin saya untuk menemani anda di artikel ini untuk membahas peranan mahasiswa di era millenials. Tentu saja ini pendapat saya pribadi, jika tidak sempurna ya wajar saja karena penulisnya adalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan.

***

Peranan mahasiswa di era millenials ini saya bagi menjadi beberapa bidang. Bidang tersebut meliputi: Politik, Pendidikan, dan Sosial Budaya. 

POLITIK 

1)      Mengkritik Pemerintahan
Memang dari dulu sampai era millenials saat ini, tugas mahasiswa yang langsung bersinggungan dengan dunia politik adalah mengkritik pemerintahan. Tentu saja ini peranan mahasiswa yang bagi saya masih bisa dilakukan di era millenials ini. Tentu saja kritik sekarang tidak harus langsung turun ke lapangan dan demo. Kritik sekarang bisa disampaikan dengan elegan dan kreatif lewat infografik dan infografis mengenai berhasil tidaknya pemerintahan saat ini. Selain mengkritik, tentu saja menurut saya mahasiswa zaman millenials ini haru juga sepaket memberikan atau menyarankan solusi yang ada di pemikirannya terhadap pemerintahan. Jika mengkritik tanpa solusi nantgi kesannya seperti peribahasa, “Tong kosong nyaring bunyinya.” Selain itu, penyampaian kritiknya juga harus sopan. Malu misalnya mengkritik di zaman millenials ini dengan kata-kata yang tidak mencerminkan insan terdidik.
2)      Demo
Ini adalah peranan sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Tentunya demo di sini tidak sembarang demo. Jika memang terjadi hal-hal yang “luar biasa” maka peranan ini bisa tetap dilaksanakan di era millenials ini. Yang masih terkenang, tentu saja saat mahasiswa demo di gedung DPR menuntut Presiden Soeharto saat itu untuk turun tahta dari kekuasaannya selama kurang lebih 32 tahun. Ini membuktikan kekuatan mahasiswa—dan masyarakat—saat itu cukup untuk menumbangkan kekuasan Pak Harto.
3)      Menyiapkan Diri sebagai Pemimpin Bangsa
Dan ini menurut saya peranan paling tinggi di era millenials ini. Kalau bukan kita—mahasiswa—lalu siapa yang akan menjadi penerus bangsa ini? Memang sepintas kalimat tersebut mirip seperti slogan salah satu partai politik di Indonesia, tapi pesan ini mengandung makna yang penting khususnya untuk para mahasiswa. Sebentar lagi, tepatnya 22 tahun yang akan datang, Indonesia akan tepat merdeka 100 tahun. Mau jadi apa Indonesia di 100 tahun kemerdekaannya? Tentu saja semuanya sangat bergantung kepada mahasiswanya yang notabene lebih sering disorot sebagai generasi penerus bangsa. Maka dari itu, penting bagi para mahasiswa menyiapkan perannya, khususnya ikut terjun di dunia politik misalnya jadi Gubernur atau Presiden juga bisa. Intinya saling berlomba-lomba membangu negeri ini menjadi lebih baik lewat dunia politik. Mahasiswa ini bahkan menurut saya harus terjun ke politik ini. Karena jika tidak, dunia politik hanya akan diisi oleh orang-orang yang tidak niat membangun bangsa ini dan hanya memuaskan hasratnya sendiri.

Pendidikan

1)      Mengedukasi sesama Mahasiswa
Dari dulu sampai sekarang, pandangan bahwa mahasiswa itu individualis masih ada. Padahal, tidak begitu. Mahasiswa bisa berperan saling mengedukasi satu sama lain, tidak individualis. Edukasi di sini bisa berupa saling belajar kembali suatu mata kuliah. Bisa juga saling mengedukasi mengenai kewirausahaan. Agar mahasiswa di suatu kampus bisa saling mencerdaskan satu sama lain.
2)      Mengedukasi Masyarakat
Pepatah berkata, “Buat apa memiliki ilmu banyak jika tidak dibagikan dengan orang lain?” Sehabis berperan mengedukasi ke sesama mahasiswa, ilmu yang mereka pelajari bisa juga mereka bagikan kepada masyarakat umum. Masyarakat umum di sini bisa berupa warga di sekitaran tempat tinggal—atau kosan—bisa juga masyarakat yang masih muda. Masyarakat yang masih muda di sini saya definisikan sebagai anak SMA. Mahasiswa bisa menjadi tutor atau mentor bagi mereka. Nah, selama saya kosong satu tahun kemarin, saya merasakan bahwa mahasiswa ada yang berperan seperti ini. Waktu itu saya diajari materi mengenai SBMPTN—Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri—oleh mahasiswa ITB dan alhamdulillah tahun ini berkat bantuan tersebut saya bisa kuliah. Peran seperti ini menurut saya harus terus dibudayakan. Dan mungkin nanti saya insyaallah ingin menjadi tutor kimia untuk adik kelas saya nanti mempersiapkan Test Center 2019—nama lain SBMPTN di tahun depan.

Sosial Budaya 

1)      Mengembangkan Bakat Diri
Mahasiswa, dengan segala ke-maha-annya tentu masing-masing memiliki bakat yang berbeda-beda. Menurut saya, di era millenials ini mahasiswa harus bisa menemukan bakatnya itu untuk lebih meningkatkan kualitas dirinya. Dengan begitu, nantinya mahasiswa bisa lenih memiliki hal yang bisa dibanggakan saat lulus—selain lulus dengan predikat cumlaude. Bakat di sini bisa apa saja. Bisa bakat berwirausaha, musik, sastra, dan sebagainya. Hal-hal semacam itu tentu saja bisa membantu mereka selepas dari dunia perkuliahan.
2)      Merawat Budaya Indonesia
Globalisasi makin ke sini berdampak pada kebudayaan di negeri kita. Barat, Korea, Jepang, dan lain sebagainya sudah masuk dalam bentuk kebudayaan ke NKRI tercinta kita. Sebagai mahasiswa di era millenials, menurut saya suatu hal yang penting dan keren jika sebagai mahasiswa kita bisa menjaga dan merawat budaya asli Indonesia yang beragam. Melestarikan di sini bisa dengan cara mempelajari dan mengajarkannya kepada anak-anak, misalnya. Peran ini juga menurut saya cukup berkesinambungan dengan poin sebelumnya. Khususnya jika bakat para mahasiswa yang terpendam itu berhubungan langsung dengan budaya asli Indonesia. Di tataran sunda, budaya yang masih bisa dipelajari dan ditampilkan berupa permainan angklung, jaipongan, dan banyak lainnya. Selain itu juga, hal-hal kecil semacam ngaliwet—makan besar di atas daun pisang—bisa menjadi alternatif melestarikan budaya—khususnya budaya Sunda.

***

            Ya, mungkin itu saja pandangan saya mengenai peran mahasiswa di era millenials ini. Lebnih kurangnya mohon dimaafkan dan terima kasih sudah membaca. Jika ada yang kurang tepat silahkan tinggalkan komentar di blog ini. Sekali lagi, terima kasih banyak. 

Muqadimah


Bismillahirrahmanirrahim. 

Dengan ini, dengan penuh perasaan dan juga fasilitas di warnet Comex.

Saya, Firman Faturrahman menyatakan akan membuka blog ini.

Pembukaan blog ini awalnya didasari oleh tugas dari Dewan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati 
pada 25 Agustus 2018.

Daripada mubadzir¸maka saya usahakan akan update lagi—selain tugas yang sudah disebutkan—agar blog ini tidak hanya asal buat.

Sekian dan terima kasih. Semoga Allah SWT. memberikan saya semangat selalu istiqamah untuk terus update blog ini. Aamiin.